Rabu, 03 Maret 2010

Andai Dosa Itu

Penulis : Meralda Nindyasti

Jiwaku hening sebagaimana langit menyelimuti malam kelam. Tiba-tiba saja aku merasa ingin disapa oleh Allah. Ya, aku ingin Allah mengajakku khusyuk menyelami makna kehidupan pemberianNya, sebagaimana Allah izinkan aku menjadi manusia yang percaya akan keesaanNya.

Masih malam ini, saat ku sedikit jenuh oleh materi kuliah Anatomi-4 yang sedang kubaca sejak 2,5 jam lalu. Tiba-tiba saja, aku merindu, aku menginginkan jiwa ini tersentuh oleh sapaan cintaNya. Aku ingin kembali berhikmah, agar hidupku ini tidak terkesan terjarah. Tepatnya terjarah oleh apa-apa yang terlewat untuk dimaknai.


Sempat 15 menit kemudian, pikiran ini melayang. Tatapan mata ini kosong. Nasyid yang biasa menemani waktu belajarku, seakan tak mampu lagi kudengar. Jendela terbuka, desir angin malam yang biasa menyentuh dinding kamar, seakan tak mampu lagi kurasakan. Entahlah, entah ke mana aku saat itu..

Dan jiwaku kembali terjaga oleh hentakan langit melalui petirnya. Hujan mengguyur bumi Malang. Dingin yang terasa, menyentuh kuat jari-jemariku. Tapi tetap, tak mampu merubah keheningan hatiku. Aku kembali merindu. Hingga percikan air wudhu menjadi pelarianku.


Astaghfirullah...!!


Bagaimana bisa aku tak sadarkan diri di kamar mandi. Tepatnya setelah tangkai shower mengenai kepalaku dari arah belakang dan aku terpeleset menatap water closet. Entah berapa lama aku terdiam tak berdaya di ruang sempit itu. Aku, aku tak ingat apa-apa lagi.

Teman kostku tak ada yang tahu. Mungkin karena memang saat itu sudah tengah malam.
Seingatku, sudah pukul 01.30.

Sekali lagi, entah telah berapa lama aku sendiri dalam ketidaksadaran tubuhku.

***
Seketika itu juga, aku mendengar ada suara menggelegar yang membuatku ketakutan. Aku tak yakin itu suara alam. Tapi yang sanggup kupastikan, di ujung sana, ada lelaki tua yang duduk sendirian. Aku berlari menghampirinya, berharap dari dialah aku mengetahui sesuatu
yang jauh lebih pasti dari apa yang kualami saat ini. Saat ku mendekat, lelaki tua itu beranjak, dan mundur dengan beberapa langkah kecil, menjauhiku.

Aneh! Aku ingin bertanya. Tapi, tapi aku tak sanggup berkata apa-apa!
Bibir ini kelu untuk berucap. Aku merasa tak bisa memerintah tubuhku. Aku kembali mendekatinya, tetapi lelaki tua itu menjauh lagi. Hingga terulang 3 kali. Tiba-tiba, lelaki tua itu menggerakkan tangannya, terkesan mengatakan, "Jangan, jangan dekati aku lagi!"

Tidak, aku tetap masih ingin mendekatinya, tentu dengan tatapan penuh tanda tanya. Tapi kemudian, ucapan dari bibirnyalah yang membuatku berhenti melangkah, "Andai dosa itu mengeluarkan bau busuk, niscaya tak ada seorang pun yang betah duduk di sampingku."

Dug!


Tidaaak...!!! Aku... Aku tak mau mendekatinya lagi! Dengan mempercayai perkataannya, bukan berarti aku yang yang tak betah berada di sampingnya. Tapi... Tapi, mungkin lelaki tua itulah yang tak betah kudekati. Mungkin... Mungkin sebenarnya, akulah yang mengeluarkan bau busuk itu.

***
Kepalaku pusing. Aku tersadarkan diri dengan kemampuan yang minim. Bajuku basah oleh campuran air dan darah. Perutku mual mencium bau amis darah. Seakan mataku berputar melihat di mana-mana warna merah darah. Aku, tak sanggup apa-apa lagi. Berdiri, ku terjatuh. Aku hanya bisa merangkak untuk mendekati kamar. Jauh, kamarku masih jauh di ujung sana. Jauh.

Kubuka pintu itu.

Rabb, apa yang terjadi?


Daya ingatku mengacak. Kuraih beberapa gelas air minum untuk menenangkan debar
jantungku. Astaghfirullah... Astaghfirullah... Astaghfirullah...!!!


Sedikit kekuatan membuatku sanggup bersujud. Aku menangis. Beristighfar atas apa yang baru saja kualami. Terlebih ucapan lelaki tua itu.


"Andai dosa itu..." Kuingat dan kucoba mengulang. Tapi aku tak sanggup!
Aku takut melengkapi kalimat itu. Karena aku tak ingin Allah menghendakinya.


Cukup, Rabb. Cukup.


Engkaulah yang sebenar-benarnya mengetahui perhitungan dosaku. Engkau Sang pemilik kehidupan. Mencabut apa-apa yang menjadi hakMu.


Demi dzat yang Maha Menyaksikan... Kau mendapatiku seorang yang berlumur dosa, lalu Kau menutupi aib-aibku dan mengampuniku atas taubatku. Kau mendapati aku sebagai hamba yang berkekurangan, lalu Kau–lah yang mencukupkan. Telah Kau dapati hidupku dalam kesempitan, lalu Kau lapangkan dan membaikkan segala urusan.

Demi dzat yang Maha Pengasih lagi Penyayang... Telah Kau sempurnakan usiaku. Telah Kau izinkan nikmat iman menghiasi qalbuku. Dan telah Kau ringankan beban yang ada di pundakku.


Duhai dzat yang berkehendak atas hidup dan matiku... Mengapa aku belum memperlakukanMu sesuai dengan jumlah nikmat yang telah Kau beri padaku? Bahkan, aku masih belum memperlakukanMu sesuai dengan banyaknya kehendak Engkau menutupi aib-aibku.


Rabb, bukan aku tak mampu!! Tapi mungkin, aku yang belum mau. Tapi mengapa, Rabb?
Mengapa aku seperti ini?

Duhai dzat yang berkehendak atas hati dan pikiranku... Mengapa aku belum jua memperlakukanMu karena rasa maluku padaMu? Bahkan, aku masih belum memperlakukanMu karena mengharap pahala dariMu.

Aku ragu, apa aku yang tak mau atau justru hatiku yang telah membeku? Tapi, tapi
mengapa aku masih seperti ini, Rabb?


"Andai dosa itu mengeluarkan bau busuk..." Kuulangi. Kuulangi kalimat itu. Masih, masih dengan kekhawatiran untuk melengkapi kalimat itu seutuhnya.


Segala puji bagi dzat yang menggenggam langit dan bumi... Adakah yang sanggup mengembalikan, jikalau penglihatan, pendengaran, dan hati telah tercabut sesuai kehendakMu? Adakah yang sanggup menghentikan, kala bumi bergoncang dan manusia lari ketakutan, hingga banyak jiwa melayang dalam berbagai tingkat ketaqwaan? Adakah yang sanggup mengelak, kala tak ada lagi pagi yang menyingsing menjadi malam? Adakah yang sanggup bertahan, kala pertolongan tak jua Engkau datangkan? Adakah yang sanggup menyembuyikan, jika Engkau saja mengetahui sebutir biji yang jatuh dalam kegelapan dan sehelai daun yang berguguran?

Segala puji bagi dzat yang berkuasa atas segala apa yang diciptakanNya.
Adakah pakaian kesombonganMu yang masih pantas kucuri dan kukenakan lagi? Adakah yang masih sanggup kubanggakan lagi dari seonggok daging berjalan dengan jiwa yang masih Kau kehendaki untuk hidup ini? Adakah yang masih bisa kuacuhkan dari sekecil apa pun peringatanMu? Dan adakah akalku masih sanggup mengimajinasikan sedahsyat apa hari pembalasanMu?


Duhai, Rabbku. Selemah-lemahnya iman yang masih meliputi qalbuku, setidaknya, tetap izinkanlah aku merasakan nikmatnya memperlakukanMu karena rasa takutku akan siksa akhirMu.


Ampuni hamba, ya Rabb.


Dan, sajadah pun basah dengan tetesan air mata di penghujung malam itu.

*kotasantri*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

internet marketing

PocketFavorite.com

Link2Communion.com